Rabu, 07 November 2012

Penjelasan Deklarasi Anti Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi

Deklarasi Anti Kekerasan di Lingkungan Kampus diminta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk dibacakan pada upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2012. Tentu muncul pertanyaan dari masyarakat, terutama masyarakat kampus kenapa deklarasi tersebut harus dibacakan. Penjelasan berikut dapat memberi latar belakang kenapa deklarasi anti kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi muncul. Deklarasi Anti Kekerasan di Lingkungan Kampus diminta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk dibacakan pada upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2012. Tentu muncul pertanyaan dari masyarakat, terutama masyarakat kampus kenapa deklarasi tersebut harus dibacakan. Penjelasan berikut dapat memberi latar belakang kenapa deklarasi anti kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi muncul. Deklarasi anti kekerasan di kampus dijelaskan dan dibacakan pada saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI mengundang seluruh Rektor perguruan tinggi, Direktur Politeknik dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta seluruh Indonesia pada tanggal 15 Oktober 2012 yang lalu, di Gedung D Dirjend Dikti, Lantai II. Pimpinan perguruan tinggi diwajibkan hadir untuk menerima penjelasan langsung tentang masalah kekerasan yang terjadi di kampus dari Bapak Menteri Pedidikan dan Kebudayaan. Kewajiban hadir karena “kekerasan di kampus yang sampai merenggut nyawa sudah tidak dapat dianggap lagi sebagai kejadian biasa, tetapi sudah kejadian yang luar biasa dan untuk mengatasinya perlu juga dengan usaha yang luar biasa”. Pengkalan kata ini lah yang disampaikan oleh Bapak Mendikbud RI pada awal pembukaan pertemuan tersebut. Lebih lanjut Mendikbud menegaskan bahwa kekurangan yang terjadi pada peserta didik pada jenjang pendidikan sebelumnya adalah tanggung jawab perguruan tinggi untuk menuntaskan. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada lagi lembaga pendidikan setelah perguruan tinggi yang dapat mengatasi masalah/ kekurangan yang terjadi pada peserta didik sebelum masuk perguruan tinggi. Setelah perguruan tinggi, lulusannya akan langsung berhadapan dengan masyarakat. Oleh sebab itu menurut Mendikbud, pimpinan perguruan tinggi harus all out mengatasi segala macam bentuk kekerasan yang terjadi di perguruan tinggi. Terdapat tiga pilihan dalam menghadapi masalah kekerasan yang terdapat di berbagai perguruan tinggi saat ini menurut Mendikbud. Pertama, difasilitasi dan perbenturanan akan semakin besar dengan korban yang semakin besar pula. Kedua, dianggap sebagai kejadian biasa saja, biarkan saja berkembang. Ketiga, distop (dihentikan) dengan secepatnya. Pilihan pertama dan kedua tidak mungkin dilakukan. Oleh sebab itu pilihan ketiga mutlak harus dilaksanakan. Dalam pertemuan tersebut, Mendikbud menceritakan bagaimana sedihnya perasaan ketika silaturahmi dengan keluarga korban mahasiswa yang meninggal waktu kerusuhan terjadi di Univerisitas Negeri Makassar beberapa waktu lalu. Desa asal mahasiswa yang meninggalkan tersebut berjaraknya kira-kira 6 jam perjalan darat dari Makassar. Pertemuan Mendikbud dengan keluarga korban dirasakan sangat berat sekali, karena keluarga yang ditemui adalah seorang petani miskin dan terbatas sekali kemampuan ekonominya. Keluarga ini mempunyai banyak anak dan harapan orang tua sangat tinggi kepada mahasiswa yang menjadi korban untuk menerubah nasih keluarga. Sambil menangis keluarga korban menyampaikan kepada Bapak Menteri “bukan kiriman ijazah yang kami peroleh, tetapi kiriman jenazah”. Sebelum kejadian di Makasar siswa SMA, anak tunggal, satu-satu yang sangat diharapkan juga meninggal dnegan mengenaskan. Melihat semua kejadian dan bahasa batin yang disampaikan orang tua korban, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melihat duduk perkaranya bahwa kejadian seperti ini tidak dapat dibenarkan, dibiarkan, dibenarkan secara terus-terus. Menteri menyampaikan bahwa menyelematkan satu nyawa, sama dengan menyelamatkan semua. Oleh sebab itu, Mendikbud menyampaikan “kita harus stop dengan semua cara, all out, agar kekerasan di kampus, yang berlaku pada masyarakat otoratian primitif, tidak dan tidak terjadi lagi”. Menteri minta kepada semua Rektor agar mengawasi setiap tindak tanduk di kampus yang dapat mengarah kepada tindakan tawuran dan kekerasan, jangan sampai kecolongan, mengedepankan kebebasan akademik, menumbuhan dan menyemaikan nilai dan tradisi budaya akademik. Tegakan disiplin, di level pimpimanan, sivitas akademika, dan berani memberi sanksi dan penghargaan. Selain itu semua pihak diminta untuk mengidentifikasi kampus mana yang sering mempunyai kekerasan dan yang memerlukan pendampingan serta bekerjasama dengan pihak kepolisian. Pihak kepolisian tidak di larang masuk kampus untuk memastikan di lokasi kampus “aman” dan bebas senjata tajam, botol-botol minuman dan ganja.